Senin, 18 November 2013

PRAKTEK CSR DALAM SUATU PERUSAHAAN

Nama : Rio Yahya Monprianta
Npm : 16210012
Kelas : 4EA16

Koran Tempo pada Sabtu lalu menurunkan artikel pendapat dari Khalisah Khalid berjudul “Permen Politik Korporasi”. Secara keseluruhan, artikel tersebut mengkritik corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan) atau disingkat CSR. Caranya, menunjukkan bahwa praktek-praktek yang dilakukan perusahaan-perusahaan “yang mengklaim dirinya telah melakukan praktek CSR” sesungguhnya kedok untuk menutupi kebusukan mereka. Khalisah menyatakan: “… terbukti CSR hanyalah gula-gula atau pemanis dan taktik perusahaan untuk menutupi berbagai kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaran terhadap hak asasi lainnya yang dilakukan oleh perusahaan.” Benarkah demikian? Untuk mengetahuinya, yang perlu dilakukan adalah menilik satu per satu argumen yang dibeberkan Khalisah. Apakah memang argumentasinya valid ataukah sekadar kumpulan prasangka belaka tanpa pengetahuan yang memadai.

Tulisan tersebut langsung dibuka dengan ketidakakuratan. Khalisah menyatakan bunyi ayat yang “mewajibkan CSR” adalah “… perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Pada kenyataannya, bunyi ayat yang dirujuk adalah “Perseroan yang menjalankan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Dalam penjelasan ayat tersebut dapat dibaca bahwa “di bidang” berarti mengelola dan memanfaatkan, sedangkan “berkaitan dengan” berarti berdampak pada daya dukung. Dengan demikian, sesungguhnya ayat tersebut menyatakan bahwa seluruh perseroan (bukan semua perusahaan) wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan, karena perseroan yang tak mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam sekalipun pasti memiliki dampak atas daya dukung lingkungan. Kalau penjelasan ayat tersebut tidak dibaca dengan benar, seperti yang banyak disangka orang, termasuk Khalisah, bahwa kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan memang hanya terkait dengan industri ekstraktif.

Kesalahan itu mendasari pilihan kasus yang dirujuk. Karena itu, pilihan atas perusahaan-perusahaan itu maksimal hanya bisa menggambarkan praktek CSR di perusahaan-perusahaan ekstraksi tambang dan migas di Indonesia. Itu pun dengan catatan bahwa data yang diambil memang merupakan hasil teknik pengumpulan yang benar-benar disiplin, dengan analisis yang memadai. Tapi bagaimanapun, dengan ketidakpahaman atas apa itu CSR, sebagaimana yang akan diuraikan berikut ini, sangatlah sulit kita meyakini kesimpulan yang ditarik.

Menyamakan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang diamanatkan oleh Pasal 74 UUPT dengan CSR adalah keliru. Definisi dan tujuan yang sempit (yaitu “… menciptakan hubungan perseroan yang serasi…”) serta pemangku kepentingan yang terlampau sedikit (hanya menghitung lingkungan dan masyarakat setempat) telah menempatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan jauh dari pengertian CSR yang dianut sebagai arus utama di tingkat internasional. Salah satu karakter CSR, sebagaimana yang dinyatakan oleh Crane, Matten, dan Spence (2008) adalah manajemen dampak. Wood (1991) menegaskan, dari sudut pandang CSR, perusahaan harus bertanggung jawab penuh atas dampak aktivitasnya, tapi tidak melampaui itu. Hal tersebut dikenal sebagai The Principle of Public Responsibilities. Namun, pengertian yang demikian sama sekali tidak dikandung dalam Pasal 74. Alih-alih tanggung jawab atas dampak, pasal tersebut hanya berkutat pada “hubungan yang serasi” dengan segelintir pemangku kepentingan.

Menyamakan CSR dengan community development atau pengembangan masyarakat adalah kesalahan berikutnya. Kalau saja mau membuka draf ISO 26000 on Social Responsibility, Khalisah akan menemukan bahwa secara konseptual pengembangan masyarakat adalah salah satu bagian dari tanggung jawab sosial. Draf tersebut menyatakan ada tujuh subyek inti tanggung jawab sosial, yaitu tata kelola organisasi, hak asasi manusia, ketenagakerjaan, lingkungan, praktek operasi yang adil, konsumen, dan, terakhir, pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat adalah upaya memandirikan kelompok masyarakat rentan.

Mengapa pengembangan masyarakat menjadi bagian penting CSR? Karena kelompok masyarakat rentan–baik itu secara struktural, kultural, maupun individual–biasanya memiliki akses paling kecil terhadap dampak positif operasi perusahaan, sekaligus menerima dampak negatif paling parah. Kalau mereka tidak mendapatkan perhatian ekstra dari perusahaan, kondisi tersebut akan terus-menerus mendera mereka. Pengembangan masyarakat, dengan demikian, bertentangan dengan kesimpulan Khalisah, sebenarnya ditujukan untuk mewujudkan potensi terbaik dari masyarakat rentan, bukan meredamnya. Kalau saja ia sempat membaca karya Ife (2002), ia akan paham bahwa pengembangan modal politik, yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat atas keputusan-keputusan pembangunan yang mengenai diri mereka, adalah bagian penting dari pengembangan masyarakat.

Khalisah benar ketika menyatakan bahwa, dalam prakteknya, proyek pengembangan masyarakat kerap (bukan “biasanya selalu”, seperti yang ia nyatakan) mengabaikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Pengalaman penulis sebagai juri CSR Awards (2005 dan 2008) membenarkan hal tersebut. Banyak perusahaan di Indonesia bahkan menggunakan istilah tersebut untuk memberikan barang atau uang tunai untuk elite tertentu yang minta “dihargai”. Namun, itu bukanlah makna yang sesungguhnya, dan kita tak boleh menghakimi konsep pengembangan masyarakat karena prakteknya yang diselewengkan. Demikian juga, kita tidak bisa mengambil kesimpulan mengenai CSR dengan melihat berbagai praktek perusahaan yang, walaupun mengaku telah menegakkan CSR, sesungguhnya adalah pengelabuan citra atau green-washing.

Citra dan keuntungan, dalam pendirian sebagian pakar CSR, adalah hasil sampingan (by product) dari upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan kinerja lingkungan, ekonomi dan sosial, serta keberhasilan untuk menyeimbangkan berbagai perhatian dari pemangku kepentingan. Semakin besar proporsi pihak yang merasa bahwa kepentingannya benar-benar dipuaskan oleh perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut mendapatkan keuntungan ekonomi dalam jangka panjang. Sebaliknya, upaya pendongkrakan citra, dan kemudian terbukti tidak didukung oleh peningkatan kinerja, akan membuat perusahaan tersebut dijauhi oleh pemangku kepentingannya, dan mengalami kerugian, bahkan kebangkrutan.

Kalau ternyata perusahaan menunggangi istilah CSR, sembari terus merusak lingkungan dan melanggar berbagai HAM, itu tak bisa dijadikan dasar untuk menghakimi konsep CSR. Apa yang dilakukan oleh perusahaan yang seperti itu merupakan pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang dianut CSR. Silakan saja simak butir-butir subyek inti kedua dan ketiga ISO 26000. Di situ siapa pun akan bisa melihat bahwa nilai-nilai lingkungan dan penghargaan HAM yang progresiflah yang dianut oleh pihak-pihak yang menyusunnya. Nilai-nilai tersebut jauh melampaui apa yang selama ini dipraktekkan oleh kebanyakan perusahaan di Indonesia, dan karena itu, perusahaan di Indonesia–juga para pemangku kepentingannya–masih harus belajar keras agar bisa mengadopsi CSR yang sebenarnya.

Sayangnya, upaya perusahaan-perusahaan di Indonesia belajar mengenai konsep CSR yang benar terhalang oleh pemerintah yang tiba-tiba meregulasi “CSR” tanpa pemahaman yang memadai. Halangan juga kerap datang dari para kritikus yang tak merasa perlu mempelajari konsep CSR yang sesungguhnya dulu sebelum menuliskan prasangka-prasangka mereka. *

Komentar saya terhadap CSR :
Menurut saya program CSR sangat bagus bagi strategi perusahaan karena dapat membangun citra yang baik di mata masyarakat.

SUMBER :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar