Nama : Rio Yahya Monprianta
Npm : 16210012
Kelas : 4EA16
Koran Tempo pada Sabtu lalu
menurunkan artikel pendapat dari Khalisah Khalid berjudul “Permen Politik
Korporasi”. Secara keseluruhan, artikel tersebut mengkritik corporate social
responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan) atau disingkat CSR. Caranya,
menunjukkan bahwa praktek-praktek yang dilakukan perusahaan-perusahaan “yang
mengklaim dirinya telah melakukan praktek CSR” sesungguhnya kedok untuk
menutupi kebusukan mereka. Khalisah menyatakan: “… terbukti CSR hanyalah
gula-gula atau pemanis dan taktik perusahaan untuk menutupi berbagai kerusakan
lingkungan hidup dan pelanggaran terhadap hak asasi lainnya yang dilakukan oleh
perusahaan.” Benarkah demikian? Untuk mengetahuinya, yang perlu dilakukan
adalah menilik satu per satu argumen yang dibeberkan Khalisah. Apakah memang
argumentasinya valid ataukah sekadar kumpulan prasangka belaka tanpa
pengetahuan yang memadai.
Tulisan tersebut langsung
dibuka dengan ketidakakuratan. Khalisah menyatakan bunyi ayat yang “mewajibkan
CSR” adalah “… perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Pada kenyataannya, bunyi
ayat yang dirujuk adalah “Perseroan yang menjalankan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab
sosial dan lingkungan”. Dalam penjelasan ayat tersebut dapat dibaca bahwa “di
bidang” berarti mengelola dan memanfaatkan, sedangkan “berkaitan dengan”
berarti berdampak pada daya dukung. Dengan demikian, sesungguhnya ayat tersebut
menyatakan bahwa seluruh perseroan (bukan semua perusahaan) wajib menjalankan
tanggung jawab sosial dan lingkungan, karena perseroan yang tak mengelola dan
memanfaatkan sumber daya alam sekalipun pasti memiliki dampak atas daya dukung
lingkungan. Kalau penjelasan ayat tersebut tidak dibaca dengan benar, seperti
yang banyak disangka orang, termasuk Khalisah, bahwa kewajiban tanggung jawab
sosial dan lingkungan memang hanya terkait dengan industri ekstraktif.
Kesalahan itu mendasari pilihan
kasus yang dirujuk. Karena itu, pilihan atas perusahaan-perusahaan itu maksimal
hanya bisa menggambarkan praktek CSR di perusahaan-perusahaan ekstraksi tambang
dan migas di Indonesia. Itu pun dengan catatan bahwa data yang diambil memang
merupakan hasil teknik pengumpulan yang benar-benar disiplin, dengan analisis
yang memadai. Tapi bagaimanapun, dengan ketidakpahaman atas apa itu CSR,
sebagaimana yang akan diuraikan berikut ini, sangatlah sulit kita meyakini
kesimpulan yang ditarik.
Menyamakan tanggung jawab
sosial dan lingkungan yang diamanatkan oleh Pasal 74 UUPT dengan CSR adalah
keliru. Definisi dan tujuan yang sempit (yaitu “… menciptakan hubungan
perseroan yang serasi…”) serta pemangku kepentingan yang terlampau sedikit
(hanya menghitung lingkungan dan masyarakat setempat) telah menempatkan tanggung
jawab sosial dan lingkungan jauh dari pengertian CSR yang dianut sebagai arus
utama di tingkat internasional. Salah satu karakter CSR, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Crane, Matten, dan Spence (2008) adalah manajemen dampak. Wood
(1991) menegaskan, dari sudut pandang CSR, perusahaan harus bertanggung jawab
penuh atas dampak aktivitasnya, tapi tidak melampaui itu. Hal tersebut dikenal
sebagai The Principle of Public Responsibilities. Namun, pengertian yang
demikian sama sekali tidak dikandung dalam Pasal 74. Alih-alih tanggung jawab
atas dampak, pasal tersebut hanya berkutat pada “hubungan yang serasi” dengan
segelintir pemangku kepentingan.
Menyamakan CSR dengan community
development atau pengembangan masyarakat adalah kesalahan berikutnya. Kalau
saja mau membuka draf ISO 26000 on Social Responsibility, Khalisah akan
menemukan bahwa secara konseptual pengembangan masyarakat adalah salah satu
bagian dari tanggung jawab sosial. Draf tersebut menyatakan ada tujuh subyek
inti tanggung jawab sosial, yaitu tata kelola organisasi, hak asasi manusia,
ketenagakerjaan, lingkungan, praktek operasi yang adil, konsumen, dan,
terakhir, pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat adalah upaya
memandirikan kelompok masyarakat rentan.
Mengapa pengembangan masyarakat
menjadi bagian penting CSR? Karena kelompok masyarakat rentan–baik itu secara
struktural, kultural, maupun individual–biasanya memiliki akses paling kecil
terhadap dampak positif operasi perusahaan, sekaligus menerima dampak negatif
paling parah. Kalau mereka tidak mendapatkan perhatian ekstra dari perusahaan,
kondisi tersebut akan terus-menerus mendera mereka. Pengembangan masyarakat,
dengan demikian, bertentangan dengan kesimpulan Khalisah, sebenarnya ditujukan
untuk mewujudkan potensi terbaik dari masyarakat rentan, bukan meredamnya.
Kalau saja ia sempat membaca karya Ife (2002), ia akan paham bahwa pengembangan
modal politik, yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat atas keputusan-keputusan
pembangunan yang mengenai diri mereka, adalah bagian penting dari pengembangan
masyarakat.
Khalisah benar ketika
menyatakan bahwa, dalam prakteknya, proyek pengembangan masyarakat kerap (bukan
“biasanya selalu”, seperti yang ia nyatakan) mengabaikan apa yang menjadi
kebutuhan masyarakat. Pengalaman penulis sebagai juri CSR Awards (2005 dan
2008) membenarkan hal tersebut. Banyak perusahaan di Indonesia bahkan
menggunakan istilah tersebut untuk memberikan barang atau uang tunai untuk
elite tertentu yang minta “dihargai”. Namun, itu bukanlah makna yang
sesungguhnya, dan kita tak boleh menghakimi konsep pengembangan masyarakat
karena prakteknya yang diselewengkan. Demikian juga, kita tidak bisa mengambil
kesimpulan mengenai CSR dengan melihat berbagai praktek perusahaan yang,
walaupun mengaku telah menegakkan CSR, sesungguhnya adalah pengelabuan citra
atau green-washing.
Citra dan keuntungan, dalam
pendirian sebagian pakar CSR, adalah hasil sampingan (by product) dari upaya
yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan kinerja lingkungan, ekonomi dan sosial,
serta keberhasilan untuk menyeimbangkan berbagai perhatian dari pemangku
kepentingan. Semakin besar proporsi pihak yang merasa bahwa kepentingannya
benar-benar dipuaskan oleh perusahaan, semakin besar pula kemungkinan
perusahaan tersebut mendapatkan keuntungan ekonomi dalam jangka panjang.
Sebaliknya, upaya pendongkrakan citra, dan kemudian terbukti tidak didukung
oleh peningkatan kinerja, akan membuat perusahaan tersebut dijauhi oleh
pemangku kepentingannya, dan mengalami kerugian, bahkan kebangkrutan.
Kalau ternyata perusahaan
menunggangi istilah CSR, sembari terus merusak lingkungan dan melanggar
berbagai HAM, itu tak bisa dijadikan dasar untuk menghakimi konsep CSR. Apa
yang dilakukan oleh perusahaan yang seperti itu merupakan pengkhianatan
terhadap nilai-nilai yang dianut CSR. Silakan saja simak butir-butir subyek
inti kedua dan ketiga ISO 26000. Di situ siapa pun akan bisa melihat bahwa
nilai-nilai lingkungan dan penghargaan HAM yang progresiflah yang dianut oleh
pihak-pihak yang menyusunnya. Nilai-nilai tersebut jauh melampaui apa yang
selama ini dipraktekkan oleh kebanyakan perusahaan di Indonesia, dan karena
itu, perusahaan di Indonesia–juga para pemangku kepentingannya–masih harus
belajar keras agar bisa mengadopsi CSR yang sebenarnya.
Sayangnya, upaya
perusahaan-perusahaan di Indonesia belajar mengenai konsep CSR yang benar
terhalang oleh pemerintah yang tiba-tiba meregulasi “CSR” tanpa pemahaman yang
memadai. Halangan juga kerap datang dari para kritikus yang tak merasa perlu
mempelajari konsep CSR yang sesungguhnya dulu sebelum menuliskan
prasangka-prasangka mereka. *
Komentar saya terhadap CSR :
Menurut saya program CSR sangat
bagus bagi strategi perusahaan karena dapat membangun citra yang baik di mata
masyarakat.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar