Senin, 25 November 2013

Penerapan GCG (Good Corporate Governance) Pada Pemerintahan

Nama : Rio Yahya Monprianta
Npm   : 16210012
Kelas : 4EA16


4. Penerapan GCG (Good Corporate Governance) Pada Pemerintahan

MEMAHAMI GOOD GOVERNANCE DALAM BERNEGARA
Konsep Good Governance sebenarnya telah lama dilaksanakan oleh semua pihak yaitu Pemerintah, Swasta dan Masyarakat, namun demikian masih banyak yang rancu memahami konsep Governance. Secara sederhana, banyak pihak menerjemahkan governance sebagai Tata Pemerintahan. Tata pemerintahan disini bukan hanya dalam pengertian struktur dan manajemen lembaga yang disebut eksekutif, karena pemerintah (government) hanyalah salah satu dari tiga aktor besar yang membentuk lembaga yang disebut governance. Dua aktor lain adalah private sektor (sektor swasta) dan civil society (masyarakat madani). Karenanya memahami governance adalah memahami bagaimana integrasi peran antara pemerintah (birokrasi), sektor swasta dan civil society dalam suatu aturan main yang disepakati bersama. Lembaga pemerintah harus mampu menciptakan lingkungan ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan keamanan yang kondusif. Sektor swasta berperan aktif dalam menumbuhkan kegiatan perekonomian yang akan memperluas lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan, sedangkan civil society harus mampu berinteraksi secara aktif dengan berbagai macam aktifitas perekonomian, sosial dan politik termasuk bagaimana melakukan kontrol terhadap jalannya aktifitas-aktifitas tersebut.
United National Development Program (UNDP,1997) mendefinisikan governance sebagai “penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, mematuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka”. Selanjutnya berdasarkan pemahaman kita atas pengertian governance tadi maka penambahan kata sifat good dalamgovernance bisa diartikan sebagai tata pemerintahan yang baik atau positif. Letak sifat baik atau positif itu adalah manakala ada pengerahan sumber daya secara maksimal dari potensi yang dimiliki dari masing-masing aktor tersebut atas dasar kesadaran dan kesepakatan bersama terhadap visi yang ingin dicapai. Governance dikatakan memiliki sifat-sifat yang good, apabila memiliki ciri-ciri atau indikator tertentu. Secara rinci Bank Dunia memberikan 19 indikator good governance, namun para akademisi biasanya tidak menggunakan kesemua indikator tersebut untuk mengukur good governance.
Kata governance sering dirancukan dengan government. Akibatnya, Negara dan pemerintah menjadi “korban utama”, bahwa pemerintah adalah sasaran nomor satu untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Badan-badan keuangan internasional mengambil prioritas untuk memperbaiki birokrasi pemerintahan di Dunia Ketiga dalam skema good governance mereka. Aktivitis dan kaum oposan, dengan bersemangat, ikut juga dalam aktivitas ini dengan menambahkan prinsip-prinsip kebebasan politik sebagai bagian yang tak terelakkan dari usaha perbaikan institusi negara. Good governance bahkan berhasil mendekatkan hubungan antara
badan-badan keuangan multilateral dengan para aktivis politik, yang sebelumnya bersikap sinis pada hubungan antara pemerintah Negara berkembang dengan badan-badan ini. Maka, jadilah suatu sintesa antara tujuan ekonomi dengan politik.
Hingga saat ini istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara. Sebenarnya “governance” dalam literatur administrasi dan ilmu politik sudah dikenal hampir selama 125 tahun yang lalu, sejak W.Wilson, menjadi Presiden USA ke 27, memperkenalkan bidang studi tersebut kurang lebih 125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu, governance hanya digunakan dalam literatur politik dengan pengertian yang sempit. Wacana tentang “governance” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai tata pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan, tata-pamong baru muncul dua dasawarsa belakangan, terutama setelah berbagai lembaga donor internasional menetapkan “good governance” sebagai persyaratan utama untuk setiap program bantuan mereka. Para pakar dan praktisi administrasi negara Indonesia, istilah “good governance” telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (clean government). Bahkan pada tahun 1992, ada lembaga internasional Eropa telah menggunakan keruntuhan Soviet , sebagai momentum untuk membenarkan sistem ideologi liberal yang intinya adalah: (1) menjunjung tinggi nilai-nilai HAM khususnya hak dan kebebasan individu, (2) demokrasi, (3) penegakan Rule of Law, (4) pasar bebas dan (5) perhatian terhadap lingkungnan. Sejak itu pula good governance di negara penerima bantuan dijadikan salah satu persyaratan oleh lembaga penyedia keuangan internasional.

Ada tiga pilar utama yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance, yakni: Negara/pemerintah (the state), masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil (civil society), dan pasar atau dunia usaha. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.

SUMBER : http://www.inkindo-jateng.web.id/?p=779

Penerapan GCG (Good Corporate Governance) Pada Bumn

Nama : Rio Yahya Monprianta
Npm   : 16210012
Kelas : 4EA16

3. Penerapan GCG (Good Corporate Governance) Pada Bumn

Good Corporate Governance

Sebagai salah satu BUMN, PT PLN (Persero) memiliki kewajiban untuk menerapkan GCG sebagaimana diamanatkan didalam Peraturan Mentri Negara BUMN Nomor Per-01/MBU/2011 tentang penerapan GCG pada BUMN. Perusahaan menyadari bahwa penerapan GCG saat ini tidak hanya sebagai pemenuhan kewajiban saja, namun telah menjadi kebutuhan dalam menjalankan kegiatan bisnis Perusahaan dalam rangka menjaga pertumbuhan usaha secara berkelanjutan, meningkatkan nilai perusahaan dan sebagai upaya agar Perusahaan mampu bertahan dalam persaingan.
Kemampuan yang tinggi dalam menerapkan prinsip-prinsip GCG telah diwujudkan oleh Perusahaan diantaranya dengan dibentuknya fungsi pengelolaan GCG dibawah Sekretaris Perusahaan yang secara khusus menangani dan memantau efektivitas penerapan GCG di Perusahaan. Perusahaan secara berkesinambungan melakukan langkah-langkah perbaikan baik dari sisi soft structure maupun dari sisi infrastructure GCG dalam rangka meningkatkan kualitas penerapan GCG. Perusahaan Telah menerbitkan dokumen-dokumen pendukung dalam penerapan GCG seperti Pedoman GCG, Board Manual, dan Pedoman Perilaku (Code of Conduct). Dewan komisaris juga telah memiliki organ pendukung yaitu Komite-komite Dewan Komisaris yang berperan dalam membantu meningkatkan efektivitas pelaksaaan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Komisaris.
Berikut infrastruktur Good Corporate Governance:
Pedoman Good Corporate Governance
Pedoman Perilaku (Code of Conduct)

Board Manual

Menurut saya penerapan CGC pada perusahaan BUMN amat baik, karena telah menjadi kebutuhan dalam menjalankan kegiatan bisnis Perusahaan dalam rangka menjaga pertumbuhan usaha secara berkelanjutan, meningkatkan nilai perusahaan dan sebagai upaya agar Perusahaan mampu bertahan dalam persaingan.

Penerapan GCG (Good Corporate Governance) Pada Perbankan

Nama : Rio Yahya Monprianta
Npm   : 16210012
Kelas  : 4EA16



2. Penerapan GCG (Good Corporate Governance) Pada Perbankan


Umum
Bank Muamalat sebagai pelopor bank syariah di Indonesia, semenjak awal berdirinya hingga saat ini, terus berupaya untuk menjadi salah satu pelopor dalam implementasi Good Corporate Governance (GCG) di perbankan syariah.


Menjadi pelopor perbankan syariah di Indonesia menuntut Bank Muamalat untuk terus menempa diri menjadi lebih baik, terus berupaya untuk tumbuh mengikuti perkembangan waktu (modern) dengan tetap berpegang pada nilai-nilai dan etika bisnis syariah, serta berkontribusi dalam meningkatkan ekonomi masyarakat secara profesional sehingga dapat memberikan manfaat nyata bagi para pemangku kepentingan dan masyarakat pada umumnya.


Prinsip-prinsip mengenai tata kelola perusahaan secara islami dan sesuai dengan praktek-praktek terbaik yang berlaku baik diperbankan nasional maupun internasional serta nilai-nilai yang ada di Bank Muamalat, merupakan suatu dasar bagi Bank Muamalat untuk terus berupaya menjadi bank terbaik dalam penerapan GCG selama ini.




Pelaksanaan Good Corporate Governance(GCG)
Pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan di Bank Muamalat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Muamalat Spirit sebagai semangat dan landasan moral untuk mencapai visi dan misi Bank Muamalat yang dijalankan melalui pengabdian serta ketaatan kepada Allah SWT. Semangat inilah yang menjadi dasar bagi pengelolaan usaha, aktivitas dan bisnis di Bank Muamalat. Dengan komitmen yang tinggi, Bank Muamalat berupaya agar selalu konsisten dalam menerapkan dan meningkatkan implementasi GCG.


Seperti halnya Muamalat Spirit yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan GCG, langkahTransformasi yang dilakukan oleh Manajemen Bank sejak tahun 2009 merupakan upaya untuk lebih memacu pelaksanaan tata kelola perusahaan yang lebih baik di Bank Muamalat, disamping terus mengembangkan budaya kepatuhan serta meningkatkan kesadaran akan risiko yang dihadapi.


Adapun pengertian inti dari Muamalat Spirit adalah semangat yang didalamnya terdapat prinsip-prinsip GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, profesional/independensi, fairness dan sikap kepedulian yang dijalankan secara Islami.


Kewajiban untuk melaksanakan serta menyampaikan laporan GCG kepada Bank Indonesia, telah dilakukan Bank Muamalat secara berkesinambungan dengan pelaksanaan yang semakin baik. Hal ini merupakan wujud dari komitmen Bank Muamalat dalam melaksanakan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 11/33/PBI/2009 tanggal 7 Desember 2009 dan Surat Edaran (SE) BI No.12/13/DPbS tanggal 30 April 2010 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) terutama Pasal 62 dan Pasal 63 mengenai kewajiban Bank untuk menyampaikan Laporan Pelaksanaan GCG kepada Bank Indonesia (BI) dan pemangku kepentingan lainnya.


Dalam melaksanakan GCG, Bank Muamalat tidak hanya berpedoman pada ketentuan dan peraturan yang mengatur tentang pelaksanaan GCG sebagaimana disebutkan di atas, namun juga berpedoman pada ketentuan internal dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku lainnya.

Menurut saya penerapan GCG pada Bank Muamalat sangat bagus karena dapat memberikan kenyamanan pada nasabahnya.


SUMBER : http://www.muamalatbank.com/home/investor/gcg_report

PRINSIP-PRINSIP GCG (Good Corporate Governance)

Nama  : Rio Yahya Monprianta
Npm    : 16210012
Kelas  : 4EA16


1. PRINSIP-PRINSIP CGC  (Good Corporate Governance)
 Secara umum ada lima prinsip dasar yang terkandung dalam good corporate governance atau tata kelola yang baik menurut Daniri (2005). Kelima prinsip tersebut adalah transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan kesetaraan/kewajaran. Namun dalam Permendagri No. 61 tahun 2007, prinsip yang dituntut untuk dilaksanakan hanya empat prinsip yang pertama.
Secara lebih rinci prinsip-prinsip dasar dalam tata kelola yang baik adalah sebagai berikut:
1. Transparansi (Transparancy); yaitu keterbukaan informasi baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Efek terpenting dari dilaksanakannya prinsip transparansi ini adalah terhindarnya benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam manajemen.
2. Akuntabilitas (Accountability); yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban organ lembaga sehingga pengelolaan lembaga dapat terlaksana dengan baik. Dengan terlaksananya prinsip ini, lembaga akan terhindar dari konflik atau benturan kepentingan peran.

3. Responsibilitas (Responsibility); yaitu kesesuaian atau kepatuhan di dalam pengelolaan lembaga terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku, termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial, perlindungan lingkungan hidup, kesehatan/keselamatan kerja, standar penggajian dan persaingan yang sehat.
4. Independensi (Independency); yaitu suatu keadaan dimana lembaga dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
5. Kesetaraan dan kewajaran (Fairness); yang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara didalam memenuhi hakhak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.



 SUMBER : http://www.proskripsi.com

Senin, 18 November 2013

PRAKTEK CSR DALAM SUATU PERUSAHAAN

Nama : Rio Yahya Monprianta
Npm : 16210012
Kelas : 4EA16

Koran Tempo pada Sabtu lalu menurunkan artikel pendapat dari Khalisah Khalid berjudul “Permen Politik Korporasi”. Secara keseluruhan, artikel tersebut mengkritik corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan) atau disingkat CSR. Caranya, menunjukkan bahwa praktek-praktek yang dilakukan perusahaan-perusahaan “yang mengklaim dirinya telah melakukan praktek CSR” sesungguhnya kedok untuk menutupi kebusukan mereka. Khalisah menyatakan: “… terbukti CSR hanyalah gula-gula atau pemanis dan taktik perusahaan untuk menutupi berbagai kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaran terhadap hak asasi lainnya yang dilakukan oleh perusahaan.” Benarkah demikian? Untuk mengetahuinya, yang perlu dilakukan adalah menilik satu per satu argumen yang dibeberkan Khalisah. Apakah memang argumentasinya valid ataukah sekadar kumpulan prasangka belaka tanpa pengetahuan yang memadai.

Tulisan tersebut langsung dibuka dengan ketidakakuratan. Khalisah menyatakan bunyi ayat yang “mewajibkan CSR” adalah “… perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Pada kenyataannya, bunyi ayat yang dirujuk adalah “Perseroan yang menjalankan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Dalam penjelasan ayat tersebut dapat dibaca bahwa “di bidang” berarti mengelola dan memanfaatkan, sedangkan “berkaitan dengan” berarti berdampak pada daya dukung. Dengan demikian, sesungguhnya ayat tersebut menyatakan bahwa seluruh perseroan (bukan semua perusahaan) wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan, karena perseroan yang tak mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam sekalipun pasti memiliki dampak atas daya dukung lingkungan. Kalau penjelasan ayat tersebut tidak dibaca dengan benar, seperti yang banyak disangka orang, termasuk Khalisah, bahwa kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan memang hanya terkait dengan industri ekstraktif.

Kesalahan itu mendasari pilihan kasus yang dirujuk. Karena itu, pilihan atas perusahaan-perusahaan itu maksimal hanya bisa menggambarkan praktek CSR di perusahaan-perusahaan ekstraksi tambang dan migas di Indonesia. Itu pun dengan catatan bahwa data yang diambil memang merupakan hasil teknik pengumpulan yang benar-benar disiplin, dengan analisis yang memadai. Tapi bagaimanapun, dengan ketidakpahaman atas apa itu CSR, sebagaimana yang akan diuraikan berikut ini, sangatlah sulit kita meyakini kesimpulan yang ditarik.

Menyamakan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang diamanatkan oleh Pasal 74 UUPT dengan CSR adalah keliru. Definisi dan tujuan yang sempit (yaitu “… menciptakan hubungan perseroan yang serasi…”) serta pemangku kepentingan yang terlampau sedikit (hanya menghitung lingkungan dan masyarakat setempat) telah menempatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan jauh dari pengertian CSR yang dianut sebagai arus utama di tingkat internasional. Salah satu karakter CSR, sebagaimana yang dinyatakan oleh Crane, Matten, dan Spence (2008) adalah manajemen dampak. Wood (1991) menegaskan, dari sudut pandang CSR, perusahaan harus bertanggung jawab penuh atas dampak aktivitasnya, tapi tidak melampaui itu. Hal tersebut dikenal sebagai The Principle of Public Responsibilities. Namun, pengertian yang demikian sama sekali tidak dikandung dalam Pasal 74. Alih-alih tanggung jawab atas dampak, pasal tersebut hanya berkutat pada “hubungan yang serasi” dengan segelintir pemangku kepentingan.

Menyamakan CSR dengan community development atau pengembangan masyarakat adalah kesalahan berikutnya. Kalau saja mau membuka draf ISO 26000 on Social Responsibility, Khalisah akan menemukan bahwa secara konseptual pengembangan masyarakat adalah salah satu bagian dari tanggung jawab sosial. Draf tersebut menyatakan ada tujuh subyek inti tanggung jawab sosial, yaitu tata kelola organisasi, hak asasi manusia, ketenagakerjaan, lingkungan, praktek operasi yang adil, konsumen, dan, terakhir, pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat adalah upaya memandirikan kelompok masyarakat rentan.

Mengapa pengembangan masyarakat menjadi bagian penting CSR? Karena kelompok masyarakat rentan–baik itu secara struktural, kultural, maupun individual–biasanya memiliki akses paling kecil terhadap dampak positif operasi perusahaan, sekaligus menerima dampak negatif paling parah. Kalau mereka tidak mendapatkan perhatian ekstra dari perusahaan, kondisi tersebut akan terus-menerus mendera mereka. Pengembangan masyarakat, dengan demikian, bertentangan dengan kesimpulan Khalisah, sebenarnya ditujukan untuk mewujudkan potensi terbaik dari masyarakat rentan, bukan meredamnya. Kalau saja ia sempat membaca karya Ife (2002), ia akan paham bahwa pengembangan modal politik, yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat atas keputusan-keputusan pembangunan yang mengenai diri mereka, adalah bagian penting dari pengembangan masyarakat.

Khalisah benar ketika menyatakan bahwa, dalam prakteknya, proyek pengembangan masyarakat kerap (bukan “biasanya selalu”, seperti yang ia nyatakan) mengabaikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Pengalaman penulis sebagai juri CSR Awards (2005 dan 2008) membenarkan hal tersebut. Banyak perusahaan di Indonesia bahkan menggunakan istilah tersebut untuk memberikan barang atau uang tunai untuk elite tertentu yang minta “dihargai”. Namun, itu bukanlah makna yang sesungguhnya, dan kita tak boleh menghakimi konsep pengembangan masyarakat karena prakteknya yang diselewengkan. Demikian juga, kita tidak bisa mengambil kesimpulan mengenai CSR dengan melihat berbagai praktek perusahaan yang, walaupun mengaku telah menegakkan CSR, sesungguhnya adalah pengelabuan citra atau green-washing.

Citra dan keuntungan, dalam pendirian sebagian pakar CSR, adalah hasil sampingan (by product) dari upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan kinerja lingkungan, ekonomi dan sosial, serta keberhasilan untuk menyeimbangkan berbagai perhatian dari pemangku kepentingan. Semakin besar proporsi pihak yang merasa bahwa kepentingannya benar-benar dipuaskan oleh perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut mendapatkan keuntungan ekonomi dalam jangka panjang. Sebaliknya, upaya pendongkrakan citra, dan kemudian terbukti tidak didukung oleh peningkatan kinerja, akan membuat perusahaan tersebut dijauhi oleh pemangku kepentingannya, dan mengalami kerugian, bahkan kebangkrutan.

Kalau ternyata perusahaan menunggangi istilah CSR, sembari terus merusak lingkungan dan melanggar berbagai HAM, itu tak bisa dijadikan dasar untuk menghakimi konsep CSR. Apa yang dilakukan oleh perusahaan yang seperti itu merupakan pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang dianut CSR. Silakan saja simak butir-butir subyek inti kedua dan ketiga ISO 26000. Di situ siapa pun akan bisa melihat bahwa nilai-nilai lingkungan dan penghargaan HAM yang progresiflah yang dianut oleh pihak-pihak yang menyusunnya. Nilai-nilai tersebut jauh melampaui apa yang selama ini dipraktekkan oleh kebanyakan perusahaan di Indonesia, dan karena itu, perusahaan di Indonesia–juga para pemangku kepentingannya–masih harus belajar keras agar bisa mengadopsi CSR yang sebenarnya.

Sayangnya, upaya perusahaan-perusahaan di Indonesia belajar mengenai konsep CSR yang benar terhalang oleh pemerintah yang tiba-tiba meregulasi “CSR” tanpa pemahaman yang memadai. Halangan juga kerap datang dari para kritikus yang tak merasa perlu mempelajari konsep CSR yang sesungguhnya dulu sebelum menuliskan prasangka-prasangka mereka. *

Komentar saya terhadap CSR :
Menurut saya program CSR sangat bagus bagi strategi perusahaan karena dapat membangun citra yang baik di mata masyarakat.

SUMBER :

CSR : Corporate Social Responsibility

Nama : Rio Yahya Monprianta
Npm : 16210012
Kelas : 4EA16


CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. COntoh bentuk tanggungjawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSRtimbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability.
Seberapa jauhkah CSR berdampak positif bagi masyarakat ?
CSR akan lebih berdampak positif bagi masyarakat; ini akan sangat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan CSRmeliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi. Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial. Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR (Corporate Social Responsibilty). Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain.
Contoh kegiatan CSR            :
Menjaga Kelestarian Lingkungan
Indofood terus melanjutkan komitmennya untuk ikut berupaya melestarikan lingkungan terutama di seluruh lokasi dimana Perseroan beroperasi melalui beberapa program yang berbasis lingkungan, antara lain sebagai berikut:
         Fasilitas Pengolahan Limbah. Guna memastikan agar limbah yang dihasilkan memenuhi baku mutu yang telah dipersyaratkan, maka seluruh pabrik Indofood dilengkapi dengan dengan fasilitas pengolahan limbah. Atas kontribusinya dalam pengelolaan limbah yang ramah lingkungan, Perseroan telah mendapatkan penghargaan dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai perusahaan dengan predikat baik.
         Indofood telah membangun Bank Sampah bersama dengan lima perusahaan lain di wilayah Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dengan kapasitas sebesar 1.000 ton limbah yang selanjutnya didaur ulang dan dijual ke industri untuk pengolahan lebih lanjut.
         SIMP dan Lonsum telah menjadi anggota Roundtable on Sustainable Palm komitmen membangun usaha perkebunan yang berkelanjutan.
         Dalam memperingati Hari Bumi dan Hari Anak Nasional, para karyawan bekerja sama dengan sekolah–sekolah setempat melaksanakan program penanaman pohon "Let It Grow, Save Our Future." Program ini mendorong para karyawan dan anak–anak untuk memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi. Kegiatan lingkungan ini dilaksanakan di seluruh wilayah dimana pabrik Indofood berada dan berhasil menanam sebanyak 11.556 pohon.

         Perseroan bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup RI mengadakan Aksi Tanam Mangrove sebanyak 2.000 pohon guna membantu melestarikan dan menjaga lingkungan pesisir pantai utara Jakarta. Kegiatan ini juga ditujukan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat pesisir dalam mendukung Konservasi Hutan Mangrove 2011.

SUMBER :
http://www.usaha-kecil.com/pengertian_csr.html

http://www.indofood.com/CSR/Programs/ProtectingTheEnvironment/tabid/194/language/id-ID/Default.aspx

Selasa, 22 Oktober 2013

CONTOH PERUSAHAAN YANG SUDAH MENERAPKAN ETIKA DALAM BERBISNIS

Tugas 2 (SOFTSKILL ETIKA BISNIS)
NAMA           : Rio Yahya Monprianta
NPM              : 16210012
KELAS          : 4EA16

CONTOH PERUSAHAAN YANG SUDAH MENERAPKAN ETIKA DALAM BERBISNIS
Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat.
Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.
pada perusahaan PT. WBC yang bergerak dalam bidang transportasi penerbangan yang berusaha menerapkan etika bisnis dalam menjalankan perusahaan. PT. WBC (Persero) adalah maskapai pertama dan terbesar di Indonesia, menerbangkan hampir 50 destinasi domestik maupun internasional. Dengan pendekatan berorientasi “melayani”, PT. WBC bertujuan menjadi penyedia layanan terdepan bagi wisatawan udara maupun pengiriman barang melalui udara di negara ini, dengan armada mendekati 120 pesawat terbang untuk mendukung seluruh pelayanan kami.
Tata Nilai Perusahaan WBC telah mengumandangkan 5 (lima) nilai-nilai Perusahaan, yaitu eFficient & effective; Loyalty; customer centricitY; Honesty & Openness dan Integrity yang disingkat menjadi “FLY HI” sejak tahun 2007, dilanjutkan dengan rumusan code of conduct yang diluncurkan pada tahun 2008. Tata nilai FLY HI dan etika Perusahaan merupakan soft structure dalam membangun Budaya Perusahaan sebagai pendekatan yang digunakan PT. WBC untuk mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik.
Etika Bisnis dan Etika Kerja Pada tahun 2011, Perusahaan menetapkan etika bisnis & etika kerja perusahaan melalui Surat Keputusan Direktur Utama PT WBC (Persero) Tbk No. JKTDZ/SKEP/50023/11 tanggal 11 Maret 2011. Etika bisnis dan etika kerja tersebut merupakan hasil penyempurnaan dari pedoman perilaku (code of conduct) yang diterbitkan melalui Surat Keputusan Direktur Utama PT WBC (Persero) Tbk No.JKTDZ/SKEP/50002/08 tanggal 14 Januari 2008 tentang Nilai-nilai Perusahan dan Pedoman Perilaku (code of conduct) Insan PT. WBC. Penyempurnaan dilakukan berdasarkan umpan balik dari hasil proses implementasi internalisasi serta rekomendasi hasil GCG assessment tahun 2009. Etika Bisnis dan Etika Kerja Perusahaan merupakan himpunan perilaku-perilaku yang harus ditampilkan dan perilaku-perilaku yang harus dihindari oleh setiap Insan Garuda Indonesia. Etika dan perilaku tersebut dalam hubungannya dengan:
1. Hubungan Sesama Insan PT. WBC. 2. Hubungan dengan Pelanggan, Pemegang Saham dan Mitra Usaha serta Pesaing. 3. Kepatuhan Dalam Bekerja, mencakup Transparansi Komunikasi dan Laporan Keuangan; Penanganan Benturan Kepentingan; Pengendalian Gratifikasi; Perlindungan Tehadap Aset Perusahaan dan Perlindungan Terhadap Rahasia Perusahaan. 4. Tanggung jawab Kepada Masyarakat, Pemerintah dan Lingkungan. 5. Penegakan Etika Bisnis dan Etika Kerja mencakup: Pelaporan Pelanggaran; Sanksi Atas Pelanggaran; Sosialisasi dan Pakta Integritas.Tata nilai, etika bisnis dan etika kerja merupakan tanggung jawab seluruh Insan PT. WBC, seperti yang dinyatakan oleh Direktur Utama dan Komisaris Utama Perusahaan dalam Buku Etika Bisnis dan Etika Kerja Perusahaan serta sesuai dengan Surat Keputusan Direktur Utama PT WBC (Persero) Tbk No. JKTDZ/SKEP/50023/11 tanggal 11 Maret 2011, ketetapan ketiga bahwa seluruh pegawai Perusahaan wajib memahami, menerapkan dan melaksanakan Etika Bisnis dan Etika Kerja serta menandatangani “Pernyataan Pakta Integritas Kepatuhan Terhadap Etika Perusahaan.” Internalisasi nilai-nilai dan etika Perusahaan dilakukan secara intensif melalui berbagai saluran komunikasi, pelatihan dan terintegrasi dengan sistem penilaian pegawai. Sosialisasi melalui saluran komunikasi internal perusahaan baik cetak maupun elektronik, tatap muka dan diskusi ke semua Unit Kerja baik di kantor Pusat maupun di Kantor Cabang serta melalui program pelatihan. Melalui proses sosialisasi, pada tahun 2011 ini jumlah pegawai yang telah menandatangani lembar komitmen kepatuhan terhadap etika Perusahaan telah mencapai 2.980 pegawai dari berbagai profesi dan unit kerja. Jumlah tersebut berarti sudah mencapai lebih dari separuh dari total pegawai Perusahaan. Perusahaan mengimplementasikan whistleblowing system sebagai alat manajemen untuk membantu Penegakan etika perusahaan. Melalui sistem ini diharapkan semua pemangku kepentingan mau melaporkan dugaan pelanggaran etika yang dilakukan oleh oknum pegawai Garuda. Etika Bisnis dan Etika Kerja serta whistleblowing system disosialisasikan pula kepada Mitra Usaha sehingga Mitra usaha dapat membantu proses penegakkan etika di Perusahaan serta bersama-sama menciptakan lingkungan bisnis yang bersih dan bermartabat.
Budaya Perusahaan Tata nilai “FLY HI” dan etika Perusahaan merupakan soft structure untuk membangun Budaya Perusahaan sebagai pendekatan yang digunakan PT.WBC untuk mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik.
SUMBER : 

PENGERTIAN ETIKA BISNIS, INDIKATOR ETIKA BISNIS, PRINSIP ETIKA DALAM BERBISNIS

Tugas 1 (SOFTSKILL ETIKA BISNIS)
NAMA            : Rio Yahya Monprianta
NPM               : 16210012
KELAS           : 4EA16

I.          PENGERTIAN ETIKA BISNIS
Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan  individu,  perusahaan, industri dan juga masyarakat.
Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan  bisnis seringkali kita temukan wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.
Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988), memberikan tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.

II.        INDIKATOR ETIKA BISNIS
Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh.
Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang, karena :
Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
Mampu meningkatkan motivasi pekerja.
Melindungi prinsip kebebasan berniaga
Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.
Tidak bisa dipungkiri, tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi dan lain sebagainya. Implementasi etika dalam penyelenggaraan bisnis mengikat setiap personal menurut bidang tugas yang diembannya. Dengak kata lain mengikat manajer, pimpinan unit kerja dan kelembagaan perusahaan. Semua anggota organisasi/perusahaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi harus menjabarkan dan melaksanakan etika bisnis secara konsekuen dan penuh tanggung jawab. Dalam pandangan sempit perusahaan dianggap sudah dianggap melaksanakan etika bisnis bilamana perusahaan yang bersangkutan telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Dari berbagai pandangan etika bisnis, beberapa indikator yang dapat dipakai untuk menyatakan bahwa seseorang atau perusahaan telah mengimplementasikan etika bisnis antara lain adalah:
1.   Indikator Etika Bisnis menurut ekonomi adalah apabila perusahaan atau pebisnis telah melakukan pengelolaan sumber daya bisnis dan sumber daya alam secara efisien tanpa merugikan masyarakat lain.
2.   Indikator Etika Bisnis menurut peraturan khusus yang berlaku. Berdasarkan indikator ini seseorang pelaku bisnis dikatakan beretika dalam bisnisnya apabila masing-masing pelaku bisnis mematuhi aturan-aturan khusus yang telah disepakati sebelumnya.
3.   Indikator Etika Bisnis menurut hukum. Berdasarkan indikator hukum seseorang atau suatu perusahaan dikatakan telah melaksanakan etika bisnis apabila seseorang pelaku bisnis atau suatu perusahaan telah mematuhi segala norma hukum yang berlaku dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
4.   Indikator Etika Bisnis berdasarkan ajaran agama. Pelaku bisnis dianggap beretika bilamana dalam pelaksanaan bisnisnya senantiasa merujuk kepada nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya.
5.   Indikator Etika Bisnis berdasarkan nilai budaya. Setiap pelaku bisnis baik secara individu maupun kelembagaan telah menyelenggarakan bisnisnya dengan mengakomodasi nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang ada disekitar operasi suatu perusahaan, daerah dan suatu bangsa.
6.   Indikator Etika Bisnis menurut masing-masing individu adalah apabila masing-masing pelaku bisnis bertindak jujur dan tidak mengorbankan integritas pribadinya.

III.       PRINSIP – PRINSIP ETIKA BISNIS
Pada dasarnya, setiap pelaksanaan bisnis seyogyanya harus menyelaraskan proses bisnis tersebut dengan etika bisnis yang telah disepakati secara umum dalam lingkungan tersebut. Sebenarnya terdapat beberapa prinsip etika bisnis yang dapat dijadikan pedoman bagi setiap bentuk usaha.

Sonny Keraf (1998) menjelaskan bahwa prinsip etika bisnis adalah sebagai berikut :

Prinsip Otonomi ; yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.
Prinsip Kejujuran ; terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
Prinsip Keadilan ; menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai criteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.
Prinsip Saling Menguntungkan (Mutual Benefit Principle) ; menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.
Prinsip Integritas Moral ; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan atau orang-orangnya maupun perusahaannya.

B.     Prinsip – Prinsip Etika Profesi
Dalam tuntutan professional sangat erat hubungannya dengan suatu kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik itu berhubungan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi.

Prinsip-prinsip etika pada umumnya berlaku bagi semua orang, serta berlaku pula bagi kaum professional. Prinsip-prinsip etika profesi adalah :

Prinsip Tanggung Jawab ; Yaitu salah satu prinsip pokok bagi kaum profesional. Karena orang yang professional sudah dengan sendirinya berarti bertanggung jawab atas profesi yang dimilikinya. Dalam melaksanakan tugasnya dia akan bertanggung jawab dan akan melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin, dan dengan standar diatas rata-rata, dengan hasil maksimal serta mutu yang terbaik.
Prinsip Keadilan ; Yaitu prinsip yang menuntut orang yang professional agar dalam melaksanakan profesinya tidak akan merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayani dalam  kaitannya dengan profesi yang dimilikinya.
Prinsip Otonomi ; Yaitu prinsip yang dituntut oleh kalangan professional terhadap dunia luar agar mereka diberikan kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya hal ini merupakan konsekuensi dari hakekat profesi itu sendiri. Karena hanya mereka yang professional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut.
Prinsip Integritas Moral ; Yaitu prinsip yang berdasarkan pada hakekat dan ciri-ciri profesi di atas, terlihat jelas bahwa orang yang professional adalah juga orang yang mempunyai integritas pribadi atau moral yang tinggi. Oleh karena itu mereka mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya, dan juga kepentingan orang lain maupun masyarakat luas.
C.     Bisnis Sebagai Profesi yang Luhur

Pada dewasa ini bisnis sudah dianggap sebagai suatu profesi. Bahkan bisnis seakan-akan menjadi sebutan profesi, tetapi sekaligus juga menyebabkan pengertian profesi menjadi suatu bahasa yang merancu atau kehilangan pengertian dasarnya. Itu terutama karena bisnis modern mensyaratkan dan menuntut para pelaku  bisnis untuk menjadi orang yang profesional.

Pada persaingan di dunia bisnis yang ketat saat ini, menuntut dan menyadarkan para pelaku bisnis untuk menjadi orang yang profesional. Sehingga profesionalisme menjadi suatu keharusan dalam melakukan bisnis. Hanya saja sering kali sikap profesional dan profesionalisme yang dimaksudkan dalam dunia bisnis hanya terbatas pada kemampuan teknis menyangkut keahlian dan keterampilan yang terkait dengan bisnis : Manajemen, produksi, pemasaran, keuangan, personalia dan seterusnya. Hal ini terutama dikaitkan dengan prinsip efisiensi demi mendatangkan keuntungan yang maksimal.

Yang sering diabaikan dan dilupakan banyak mendapat perhatian adalah profesionalisme dan sikap profesional juga mengandung pengertian komitmen pribadi dan moral pada profesi tersebut dan pada kepentingan pihak-pihak yang saling terkait. Orang yang profesional selalu berarti orang yang memiliki komitmen pribadi yang tinggi, yang serius menjalankan pekerjaannya, yang bertanggung jawab atas pekerjaannya agar tidak sampai merugikan pihak lainnya. Orang  yang profesional adalah orang yang menjalankan pekerjaannya secara tuntas dengan hasil dan mutu yang sangat baik karena komitmen dan tanggung jawab moral pribadinya.

Itu sebabnya mengapa bisnis hampir tidak pernah atau belum dianggap sebagai suatu profesi yang luhur. Bahkan sebaliknya seakan ada jurang yang memisahkan dunia bisnis dengan etika. Tentu saja ini terutama disebabkan oleh suatu pekerjaan kotor, tipu menipu, penuh kecurangan dan etika buruk. Bahkan tidak hanya masyarakat, melainkan sering orang bisnis menganggap dirinya bahwa memang pekerjaannya adalah tipu menipu, curang, membohongi orang lain dan sebagainya. Sehingga tidak heran bisnis mendapat predikat jelek, sebagai kerjanya orang-orang kotor.

Kesan dan sikap masyarakat tentang bisnis serta bisnis sendiri, seperti itu disebabkan oleh ulah orang-orang atau lebih tepatnya beberapa orang bisnis yang memperlihatkan citra yang begitu negatif di masyarakat. Beberapa orang bisnis yang hanya ingin mengejar keuntungan dengan menawarkan barang dan jasa dengan mutu rendah, yang tidak memperdulikan pelayanan terhadap konsumennya bahkan tidak menghiraukan keluhan konsumennya yang tidak sesuai dengan iklan ataupun janji terhadap barang atau jasa yang ditawarkannya. Sehingga hal ini membuat citra negative bagi bisnis tersebut.

Berdasarkan pengertian profesi  yang menekankan keahlian dan keterampilan yang tinggi serta komitmen moral yang mendalam, maka jelas kiranya bahwa pekerjaan yang kotor tidak akan disebut sebagai profesi. Oleh karenanya bisnis itu bukanlah merupakan profesi, jika bisnis dianggap sebagai sebagai pekerjaan kotor, kendati istilah profesi, profesional, dan profesionalisme sering diucapkan dalam kaitan kegiatan bisnis. Namun di pihak lain tidak dapat disangkal bahwa ada hanya pembisnis dan juga perusahaan yang sangat menghayati pekerjaan dan kegiatan bisnisnya sebagai sebuah profesi dalam pengertiannya sebagaimana kita ketahui bersama. Mereka tidak hanya memiliki keahlian dan keterampilan yang tinggi tetapi punya komitmen moral yang mendalam. Oleh karena itu bukan tidak mungkin bahwa bisnis pun dapat menjadi sebuah  profesi dalam pengertiannya yang sebenar-benarnya, bahkan menjadi sebuah profesi yang luhur.

Untuk melihat tepat tidaknya kata  profesi dipakai juga untuk dunia bisnis dan untuk melihat apakah bisnis dapat menjadi profesi yang luhur, mari kita tinjau dua pandangan dan penghayatan yang berbeda mengenai pekerjaan dan kegiatan bisnis yang dianut oleh para pelaku bisnis.

a.      Pandangan Praktis Realistis

Pandangan ini terutama bertumpu pada kenyataan (pada umumnya) yang diamati berlaku dalam dunia bisnis dewasa ini. Pandangan ini berdasarkan pada apa yang umumnya dilakukan dalam dunia bisnis dewasa ini. Pandangan ini melihat bisnis sebagai suatu kegiatan di antara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk mendapatkan keuntungan.

Dalam pandangan ini ditegaskan bahwa secara jelas tujuan utama bisnis adalah mencari keuntungan. Bisnis adalah suatu kegiatan profit making. Dasar pemikirannya adalah orang yang terjun ke dalam dunia bisnis tidak punya keinginan dan tujuan lain ingin mendapatkan keuntungan. Kegiatan bisnis adalah kegiatan ekonomis dan bukan kegaitan sosial. Sehingga keuntungan tersebut untuk menunjang kegiatan bisnis, tanpa keuntungan bisnis tidak dapat berjalan.

Pandangan ini dianggap sebagai pandangan ekonomi klasik (Adam Smith) dan ekonomi neo-klasik (Milton Friedman). Adam Smith berpendapat bahwa pemilik modal baru dapat keuntungan untuk bisa merangsang menanamkan modalnya dan itu berarti tidak ada kegiatan ekonomi produktif sama sekali. Pada akhirnya tidak ada pekerja yang dipekerjakan dan konsumen tidak akan mendapatkan barang kebutuhannya.

Asumsi  Adam Smith adalah dalam masyarakat modern telah terjadi pembagian kerja dimana setiap orang tidak bisa lagi mengerjakan segala sesuatunya sekaligus dan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Manusia modern harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menukarkan barang produksinya dengan barang produksi milik orang lain. Dalam perkembangan zaman ada yang berhasil mengumpulkan modal dan memperbesar usahanya sementara yang lainnya hanya bisa menjadi pekerja orang lain. Maka terjadi kelas sosial.

Kedua, bahwa semua orang tanpa kecuali mempunyai kecenderungan dasar untuk membuat kondisi hidupnya menjadi jauh lebih baik. Dalam keadaan sosial yang telah terbagi menjadi kelas-kelas sosial, jalan terbaik untuk tetap mempertahankan modalnya dalam kegiatan produktif yang sangat berguna bagi kegiatan ekonomi nasional dan ekonomi dunia termasuk kelas pekerja. Hanya dengan membuat pemilik modal menanamkan modalnya, maka banyak orang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Satu-satunya secara kuantitatif melalui kegiatan produktif keadaan modalnya serta moral dan sosial baik, antara lain karena punya dampak yang berguna bagi orang banyak. Karena itu secara moral tidak salah jika pelaku bisnis  itu mencari keuntungan.

Dalam kaitan dengan ini, tidak mengherankan bahwa Milton Friedman mengatakan bahwa omong kosong jika bisnis tidak mencari keuntungan. Ia melihat bahwa dalam kenyataanya hanya keuntunganlah yang menjadi satu-satunya motivasi atau daya tarik bagi pelaku bisnis. Menurut Friedman, mencari keuntungan bukan hal yang jelek, karena semua orang memasuki bisnis selalu dengan punya satu motivasi dasar yaitu mencari keuntungan. Artinya kalau semua orang masuk dalam dunia bisnis dengan satu motivasi dasar untuk mencari keuntugan, maka sah dan etis jika saya pun mencari keuntungan dalam bisnis.

b.      Pandangan Ideal

Pandangan ideal ini dalam kenyataanya masih merupakan suatu hal yang ideal dalam dunia bisnis. Harus diakui bahwa sebagian pandangan yang ideal pandangan ini baru dianut oleh sebagian orang yang dipengaruhi oleh idealisme tertentu nilai tertentu yang dianutnya.

Menurut pandangan ini bisnis tidak lain adalah suatu kegiatan di antara manusia yang menyangkut produksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan  masyarakat. Pandangan ini tidak menolak bahwa keuntungan adalah tujuan utama bisnis. Tapi keuntungan bisnis tidak dapat bertahan. Namun keuntungan hanya dilihat sebagai konsekuensi logis dalam kegiatan bisnis, yaitu bahwa dengan memenuhi kebutuhan masyarakat secara baik, keuntungan akan datang dengan sendirinya. Masyarakat akan merasa  terkait membeli barang dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan yang memenuhi kebutuhan mereka dengan mutu dan harga yang baik itu.

Dasar pemikirannya adalah pertukaran  timbal balik secara fair diantara pihak-pihak yang terlibat. Maka yang mau di tegakkan dalam bisnis yang menganut pandangan ini adalah keadilan komutatif, khususnya keadilan tukar atau pertukaran dagang yang fair. Sesungguhnya pandangan ini pun bersumber dari ekonomi klasiknya Adam Smith. Menurut Adam Smith, pertukaran dagang terjadi karena satu orang memproduksi lebih banyak barang tertentu, sementara ia sendiri membutuhkan barang lain yang tidak dapat memproduksinya sendiri. Jadi sesungguhnya kegiatan bisnis bisa terjadi karena keinginan untuk saling memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Hal itu berarti kegiatan bisnis merupakan perwujudan hakekat sosial manusia saling membutuhkan satu dengan lainnya. Dengan kata lain keuntungan bukan merupakan tujuan dalam melakukan kegiatan bisnis. Walaupun menurut Adam Smith pertukaran dagang didasarkan atas kepentingan pribadi masing-masing yang secara moral baik, pertukaran dagang atau bisnis merupakan upaya saling memenuhi kebutuhan masing-masing, yang hanya akan paling mungkin dipenuhi masing-masing orang diperhatikan.

Pandangan ini juga telah dihayati  dan dipraktekkan dalam kegiatan bisnis oleh beberapa orang pengusaha, bahkan menjadi etos bisnis dari perusahaan yang mereka dirikan. Sebagai contoh : Matsushita, berpendapat tujuan bisnis sebenarnya  bukanlah mencari keuntungan melainkan melayani kebutuhan masyarakat, Sedangkan keuntungan tidak lain hanyalah simbol kepercayaan masyarakat atas kegiatan bisnis suatu perusahaan. Hal itu berarti bahwa karena masyarakat merasa kebutuhan hidupnya dipenuhi, secara baik mereka akan menyukai produk perusahaan tersebut yang memang dibutuhkannya, tapi sekaligus juga puas dengan produk tersebut. Sehingga mereka akan tetap membeli produk tersebut. Dari situ akan mengalir keuntungan. Dengan demikian yang pertama-tama menjadi fokus perhatian dalam bisnis bukanlah mencari keuntungan, melainkan apa kebutuhan masyarakat dan bagaimana melayani kebutuhan masyarakat itu  secara baik dan dari sana akan mendapatkan keuntungan.

Pandangan Matsushita, sebenarnya dalam arti tertentu tidak sangat idealisitis, karena lahir dari visi bisnis yang kemudian diperkuat dengan dukungan oleh pengalamannya dalam mengelola bisnisnya. Ternyata perusahaan dan bisnisnya berhasil bertahan lama, tanpa perlu harus menggunakan segala cara demi mencapai keuntungan. Demikian pula pandangan seperti itu diakui dan dibuktikan kebenarannya oleh pengalaman banyak perusahanan yang juga mengembangkan nilai-nilai budaya perusahaan tertentu atau etos bisnis bagi perusahaan tersebut.

Dengan melihat kedua pandangan yang berbeda di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa citra jelek dunia sedikit banyak disebabkan oleh pandangan pertama sekedar bisnis mencari keuntungan. Tentu saja, pada dirinya sendiri, sebagaimana telah dikatakan keuntungan tidak jelek. Hanya saja sikap yang timbul dari kesadaran bahwa bisnis hanya pada satu tujuan untuk mencari keuntungan sangat berbeda dengan alternative lainnya. Yang terjadi adalah munculnya sikap dan perilaku yang menjurus pada menghalalkan segala cara, termasuk cara yang tidak dibenarkan siapapun hanya demi mendapatkan keuntungan. Akibatnya pelaku bisnis tersebut hidup dalam suatu dunia yang bahkan ia sendiri sejauh sebagai manusia tidak diinginkannya.

Salah satu upaya untuk membangun bisnis sebagai profesi yang luhur adalah membentuk, mendukung dan memperkuat organisasi profesi. Melalui organisasi profesi tersebut bisnis bisa dikembangkan sebagai sebuah profesi dalam pengertian yang sebenar-benarnya sebagaimana dibahas, jika bukan menjadi profesi yang luhur tentu saja sangat sulit untuk membentuk sebuah organisasi profesi yang mencakup semua bidang bisnis.

Dalam hal ini KADIN dapat diperdayakan untuk kepentingan tersebut. Yang lebih efektif adalah membentuk organisasi profesi untuks setiap kelompok atau bidang bisnis : tekstil, konstruksi, bisnis retail tambang dan sebagainya. Organisasi-organisasi ini tidak hanya menangani kegiatan bisnis teknis dari kelompoknya melainkan juga menjadi semacam polisi moral yang akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam mengeluarkan izin usaha bagi para anggotanya dan tanpa rekomendasi itu izin tersebut tidak akan diperoleh. Paling tidak organisasi ini memberikan peringkat / ranking label kualitas yang menentukan sehat tidaknya, etis tidaknya, perusahaan-perusahaan yang menjadi anggotanya. Peringkat ini sangat diandalkan masyarakat dan semua pelaku bisnis lainnya sehingga membuat para anggota merasa membutuhkannya dengan menjadi anggota yang setia dari organisasi profesi tersebut.

Jika cara ini dijalankan, dengan kontrol yang ketat dari organisasi profesi, akan bisa terwujud iklim bisnis yang baik. Tentu saja hal ini pun mengandalkan bahwa organisasi  profesi itu sendiri bersih dan baik; tidak ada nepotisme, tidak ada kolusi tidak ada diskriminasi dalam pemberian rekomendasi peringkat atau label kualitas. Demikian pula ini pun mengandalkan pemerintah, melalui departemen terkait, memang bersih dari praktek-praktek yang dapat merusak citra bisnis yang baik dan etis.

D.     Seberapa Beretikakah?

Pada Etika Khusus dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :

Etika Individual ; yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap diri sendiri. Salah satu prinsip yang secara khusus relevan dalam etika individual adalah prinsip integritas pribadi, yang berbicara mengenai perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga dan mempertahankan nama baiknya sebagai pribadi moral.
Etika Sosial ; yaitu suatu etika yang berbicara mengenai kewajiban dan hak, pola dan perilaku manusia sebagai makhluk sosial ber-intraksi dengan sesamanya. Hal ini tentu saja sebagaimana hakikat manusia yang bersifat ganda, yaitu sebagai makhluk individual dan sosial, etika individual dan etika sosial berkaitan erat. Bahkan dalam arti tertentu sulit untuk dilepaskan dan dipisahkan satu dengan lainnya. Karena kewajiban seseorang terhadap dirinya berkaitan langsung dengan banyak hal yang mempengaruhi pula kewajibannya terhadap orang lain, dan demikian pula sebaliknya.
Etika Lingkungan Hidup ; yaitu sebuah etika yang saat ini sering dibicarakan sebagai cabang dari etika khusus. Etika ini adalah hubungan antara manusia dengan lingkungan alam yang ada di sekitarnya. Sehingga etika lingkungan ini dapat merupakan cabang dari etika sosial (sejauh menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia, yang bersangkutan dengan dampak lingkungan) maupun berdiri sendiri dengan sebagai etika khusus (sejauh menyangkut hubungan manusia dengan lingkungannya). Lingkungan hidup dapat dibicarakan juga dalam kerangka bisnis, karena pola interaksi bisnis sangat mempengaruhi lingkungan hidup.
Dengan demikian, secara umum kita dapat membuat skema sebagai berikut :

E.     Etika Profesi

Pengertian Profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan ketrampilan yang tinggi dan dengan melibatkan komitmen  pribadi (moral) yang mendalam. Dengan demikian profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan keahlian dan ketrampilan yang tinggi serta mempunyai komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaan itu.

SUMBER : 

Rabu, 26 Juni 2013

Resensi Buku

Nama  : Rio Yahya Monprianta
Npm  : 16210012
Kelas  : 3ea16




Resensi ialah tulisan yang isinya menimbang atau menilai sebuah karya yang dikarang atau dicipta orang lain. Resensi itu asal katanya dari bahasa Belanda recensie. Dalam bahasa Inggris, padanan katanya adalah istilah review (ini juga berasal dari bahasa Latin: revidere; re “kembali”, videre “melihat”). Karya yang dinilai dalam tulisan resensi meliputi buku, film, teater, lagu, dan semacamnya.

Secara umum, resensi dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Deskriptif : menggambarkan dan menjelaskan tentang karya seseorang secara menyeluruh, baik dari segi isi, penulisannya, maupun penciptanya (creator). Resensi deskriptif ini tidak sampai pada penilaian kritik (bagus/tidak) si penulis terhadap karya yang dia resensi. Dia hanya menjelaskan secara singkat tentang isi, proses, dan pencipta sebuah karya.
2. Deskriptif-evaluatif : resensi dengan karakter kedua ini melakukan penilaian terhadap sebuah karya lebih dalam dari yang pertama. Dia tidak hanya menggambarkan, tapi menilai sebuah karya secara keseluruhan dengan kritis dan argumentatif. Sehingga ada kesimpulan pada akhir resensi, apakah karya yang diresensi baik kualitasnya atau tidak.
3. Deskriptif-komparatif : resensi yang ketiga ini lebih sulit lagi daripada macam resensi yang kedua. Resensi macam ketiga ini mencoba melakukan penilaian pada sebuah karya dengan cara membandingkan karya orang lain yang memiliki kesamaan atau keterkaitan secara isi dan materi. Disebut sulit, sebab selain membutuhkan analisa  mendalam dan kritis, resensi macam ketiga ini membutuhkan pengetahuan dan wawasan luas. Tidak hanya satu karya yang harus dia pahami, namun karya-karya lain yang berhubungan dengan karya yang dia resensi harus pula dia pahami.

Untuk resensi buku, berikut beberapa kiat yang bisa membantu kita untuk mempermudah penulisannya.
1. Baca isi buku dengan pemahaman keilmuan yang kita miliki. Seorang yang tidak menguasai teori sastra sama sekali, jelas akan kesulitan menganalisa buku sastra. Apakah peresensi harus seorang ahli/ilmuwan? Tentu tidak. Tapi, minimal menguasai dasar-dasar suatu ilmu pengetahuan yang ada dalam isi buku tersebut.
2. Peresensi yang baik seyogianya membaca isi buku secara lengkap, jika perlu berulang-ulang dan membandingkan dengan beberapa buku serupa. Tapi ini akan merepotkan dan menghabiskan energi. Peresensi yang demikian biasanya untuk penulisan jenis resensi kritik. Untuk jenis resensi informatif atau deskriptif, kita hanya mencari bagian-bagian point of view dari tema buku, termasuk kata pengantar dan epilog. Namun demikian,  hanya bisa diterapkan untuk mengulas buku ilmiah yang mana bab per babnya disusun secara baku dan teratur. Untuk buku jenis novel jelas tidak bisa diterapkan.
3.Pilih tema pokok yang ingin anda jelaskan dalam resensi. Point of view, atau angle tidak boleh lebih dari satu. Hal ini untuk menghindari melebarnya pembahasan dari tema pokok.
4. Kutip beberapa materi dari isi buku sebagai data ulasan.
5. Berikan penjelasan pada lead tulisan secara singkat dan deskriptif isi buku.
6. Materi isi buku dijabarkan pada bagian struktur/badan penulisan.

7.Akhiri penulisan dengan komentar singkat. Peresensi yang baik akan menyanjung dan mengkritik secara objektif dan proporsional. Ingat, posisi peresensi dalam hal ini adalah sama dengan seorang ilmuwan. Tak boleh subjektif dan distortif dalam menyampaikan ulasan

Contoh Resensi Cerita Fiksi Karya R.L. Stine

Sinopsis

Judul : Kelelawar Rumah Setan
Tema : Seri Petualangan Maut
Alur : Maju
Sudut Pandang : Penulis sebagai pengarang cerita

Jadi anak baru memeang menyebalkan. bayangkan! Di sekolahmu yang lama kau punya berton-ton teman. Tapi di sekolahmu yang baru, satu pun kau tidak punya. Sampai kau bertemu Nick yang mengajakmu bergabung menjadi anggota klub horor.
     Klub horor selalu mengadakan pertemuan di sebuah rumah tua yang angker. Rumah itu sudah bertahun-tahun dibiarkan kosong. Tak ada yang mau tinggal disana, karena arwah Profesor Krupnik menghantui rumah itu. Disanalah kau mengalami berbagai petualangan menyeramkan.
     Benarkah Nick dan anggota Klub lainnya adalah anak-anak biasa? Atau mahkluk jadi-jadian? Apa yang terjadi bila kau membuka pintu makan Profesor Krupnik? Bisakah kau memusnahkan kutukan arwahnya? Dan apa yang harus kau lakukan bila Raja Mesir hendak menjadikan dirimu mayat hidup alias mumi?