I. PENGERTIAN ETIKA
BISNIS
Secara sederhana yang dimaksud dengan
etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup
seluruh aspek yang berkaitan dengan
individu, perusahaan, industri
dan juga masyarakat.
Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita
menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak
tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan
yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan
standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan wilayah
abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.
Von der Embse dan R.A. Wagley dalam
artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988), memberikan tiga pendekatan
dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
Utilitarian Approach : setiap tindakan
harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak
seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat
sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan
dengan biaya serendah-rendahnya.
Individual Rights Approach : setiap
orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati.
Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila
diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
Justice Approach : para pembuat
keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan
pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
II. INDIKATOR ETIKA BISNIS
Etika bisnis dalam perusahaan memiliki
peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh
dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai
(value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh.
Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya
praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka
menengah maupun jangka panjang, karena :
Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya
kemungkinan terjadinya friksi, baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
Mampu meningkatkan motivasi pekerja.
Melindungi prinsip kebebasan berniaga
Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.
Tidak bisa dipungkiri, tindakan yang
tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan memancing tindakan balasan dari
konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui
gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi dan lain sebagainya.
Implementasi etika dalam penyelenggaraan bisnis mengikat setiap personal
menurut bidang tugas yang diembannya. Dengak kata lain mengikat manajer,
pimpinan unit kerja dan kelembagaan perusahaan. Semua anggota
organisasi/perusahaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi harus menjabarkan
dan melaksanakan etika bisnis secara konsekuen dan penuh tanggung jawab. Dalam
pandangan sempit perusahaan dianggap sudah dianggap melaksanakan etika bisnis
bilamana perusahaan yang bersangkutan telah melaksanakan tanggung jawab
sosialnya. Dari berbagai pandangan etika bisnis, beberapa indikator yang dapat
dipakai untuk menyatakan bahwa seseorang atau perusahaan telah
mengimplementasikan etika bisnis antara lain adalah:
1.
Indikator Etika Bisnis menurut ekonomi adalah apabila perusahaan atau
pebisnis telah melakukan pengelolaan sumber daya bisnis dan sumber daya alam
secara efisien tanpa merugikan masyarakat lain.
2.
Indikator Etika Bisnis menurut peraturan khusus yang berlaku.
Berdasarkan indikator ini seseorang pelaku bisnis dikatakan beretika dalam
bisnisnya apabila masing-masing pelaku bisnis mematuhi aturan-aturan khusus
yang telah disepakati sebelumnya.
3.
Indikator Etika Bisnis menurut hukum. Berdasarkan indikator hukum
seseorang atau suatu perusahaan dikatakan telah melaksanakan etika bisnis
apabila seseorang pelaku bisnis atau suatu perusahaan telah mematuhi segala
norma hukum yang berlaku dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
4.
Indikator Etika Bisnis berdasarkan ajaran agama. Pelaku bisnis dianggap
beretika bilamana dalam pelaksanaan bisnisnya senantiasa merujuk kepada
nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya.
5.
Indikator Etika Bisnis berdasarkan nilai budaya. Setiap pelaku bisnis
baik secara individu maupun kelembagaan telah menyelenggarakan bisnisnya dengan
mengakomodasi nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang ada disekitar operasi
suatu perusahaan, daerah dan suatu bangsa.
6.
Indikator Etika Bisnis menurut masing-masing individu adalah apabila
masing-masing pelaku bisnis bertindak jujur dan tidak mengorbankan integritas
pribadinya.
III. PRINSIP – PRINSIP ETIKA BISNIS
Pada dasarnya, setiap pelaksanaan bisnis
seyogyanya harus menyelaraskan proses bisnis tersebut dengan etika bisnis yang
telah disepakati secara umum dalam lingkungan tersebut. Sebenarnya terdapat
beberapa prinsip etika bisnis yang dapat dijadikan pedoman bagi setiap bentuk
usaha.
Sonny Keraf (1998) menjelaskan bahwa
prinsip etika bisnis adalah sebagai berikut :
Prinsip Otonomi ; yaitu sikap dan
kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan
kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.
Prinsip Kejujuran ; terdapat tiga
lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak
akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran.
Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua,
kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang
sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
Prinsip Keadilan ; menuntut agar setiap
orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai
criteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.
Prinsip Saling Menguntungkan (Mutual
Benefit Principle) ; menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga
menguntungkan semua pihak.
Prinsip Integritas Moral ; terutama
dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan,
agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan atau
orang-orangnya maupun perusahaannya.
B.
Prinsip – Prinsip Etika Profesi
Dalam tuntutan professional sangat erat
hubungannya dengan suatu kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik itu
berhubungan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi.
Prinsip-prinsip etika pada umumnya
berlaku bagi semua orang, serta berlaku pula bagi kaum professional.
Prinsip-prinsip etika profesi adalah :
Prinsip Tanggung Jawab ; Yaitu salah
satu prinsip pokok bagi kaum profesional. Karena orang yang professional sudah
dengan sendirinya berarti bertanggung jawab atas profesi yang dimilikinya.
Dalam melaksanakan tugasnya dia akan bertanggung jawab dan akan melakukan
pekerjaan dengan sebaik mungkin, dan dengan standar diatas rata-rata, dengan
hasil maksimal serta mutu yang terbaik.
Prinsip Keadilan ; Yaitu prinsip yang
menuntut orang yang professional agar dalam melaksanakan profesinya tidak akan
merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang
dilayani dalam kaitannya dengan profesi
yang dimilikinya.
Prinsip Otonomi ; Yaitu prinsip yang dituntut
oleh kalangan professional terhadap dunia luar agar mereka diberikan kebebasan
sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya hal ini merupakan
konsekuensi dari hakekat profesi itu sendiri. Karena hanya mereka yang
professional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak
luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut.
Prinsip Integritas Moral ; Yaitu prinsip
yang berdasarkan pada hakekat dan ciri-ciri profesi di atas, terlihat jelas
bahwa orang yang professional adalah juga orang yang mempunyai integritas
pribadi atau moral yang tinggi. Oleh karena itu mereka mempunyai komitmen
pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya, dan juga kepentingan
orang lain maupun masyarakat luas.
C.
Bisnis Sebagai Profesi yang Luhur
Pada dewasa ini bisnis sudah dianggap
sebagai suatu profesi. Bahkan bisnis seakan-akan menjadi sebutan profesi,
tetapi sekaligus juga menyebabkan pengertian profesi menjadi suatu bahasa yang
merancu atau kehilangan pengertian dasarnya. Itu terutama karena bisnis modern
mensyaratkan dan menuntut para pelaku
bisnis untuk menjadi orang yang profesional.
Pada persaingan di dunia bisnis yang
ketat saat ini, menuntut dan menyadarkan para pelaku bisnis untuk menjadi orang
yang profesional. Sehingga profesionalisme menjadi suatu keharusan dalam
melakukan bisnis. Hanya saja sering kali sikap profesional dan profesionalisme
yang dimaksudkan dalam dunia bisnis hanya terbatas pada kemampuan teknis
menyangkut keahlian dan keterampilan yang terkait dengan bisnis : Manajemen,
produksi, pemasaran, keuangan, personalia dan seterusnya. Hal ini terutama
dikaitkan dengan prinsip efisiensi demi mendatangkan keuntungan yang maksimal.
Yang sering diabaikan dan dilupakan
banyak mendapat perhatian adalah profesionalisme dan sikap profesional juga
mengandung pengertian komitmen pribadi dan moral pada profesi tersebut dan pada
kepentingan pihak-pihak yang saling terkait. Orang yang profesional selalu
berarti orang yang memiliki komitmen pribadi yang tinggi, yang serius
menjalankan pekerjaannya, yang bertanggung jawab atas pekerjaannya agar tidak
sampai merugikan pihak lainnya. Orang
yang profesional adalah orang yang menjalankan pekerjaannya secara
tuntas dengan hasil dan mutu yang sangat baik karena komitmen dan tanggung
jawab moral pribadinya.
Itu sebabnya mengapa bisnis hampir tidak
pernah atau belum dianggap sebagai suatu profesi yang luhur. Bahkan sebaliknya
seakan ada jurang yang memisahkan dunia bisnis dengan etika. Tentu saja ini
terutama disebabkan oleh suatu pekerjaan kotor, tipu menipu, penuh kecurangan
dan etika buruk. Bahkan tidak hanya masyarakat, melainkan sering orang bisnis
menganggap dirinya bahwa memang pekerjaannya adalah tipu menipu, curang,
membohongi orang lain dan sebagainya. Sehingga tidak heran bisnis mendapat
predikat jelek, sebagai kerjanya orang-orang kotor.
Kesan dan sikap masyarakat tentang
bisnis serta bisnis sendiri, seperti itu disebabkan oleh ulah orang-orang atau
lebih tepatnya beberapa orang bisnis yang memperlihatkan citra yang begitu
negatif di masyarakat. Beberapa orang bisnis yang hanya ingin mengejar
keuntungan dengan menawarkan barang dan jasa dengan mutu rendah, yang tidak
memperdulikan pelayanan terhadap konsumennya bahkan tidak menghiraukan keluhan
konsumennya yang tidak sesuai dengan iklan ataupun janji terhadap barang atau
jasa yang ditawarkannya. Sehingga hal ini membuat citra negative bagi bisnis
tersebut.
Berdasarkan pengertian profesi yang menekankan keahlian dan keterampilan
yang tinggi serta komitmen moral yang mendalam, maka jelas kiranya bahwa
pekerjaan yang kotor tidak akan disebut sebagai profesi. Oleh karenanya bisnis
itu bukanlah merupakan profesi, jika bisnis dianggap sebagai sebagai pekerjaan
kotor, kendati istilah profesi, profesional, dan profesionalisme sering
diucapkan dalam kaitan kegiatan bisnis. Namun di pihak lain tidak dapat
disangkal bahwa ada hanya pembisnis dan juga perusahaan yang sangat menghayati
pekerjaan dan kegiatan bisnisnya sebagai sebuah profesi dalam pengertiannya
sebagaimana kita ketahui bersama. Mereka tidak hanya memiliki keahlian dan
keterampilan yang tinggi tetapi punya komitmen moral yang mendalam. Oleh karena
itu bukan tidak mungkin bahwa bisnis pun dapat menjadi sebuah profesi dalam pengertiannya yang sebenar-benarnya,
bahkan menjadi sebuah profesi yang luhur.
Untuk melihat tepat tidaknya kata profesi dipakai juga untuk dunia bisnis dan
untuk melihat apakah bisnis dapat menjadi profesi yang luhur, mari kita tinjau
dua pandangan dan penghayatan yang berbeda mengenai pekerjaan dan kegiatan
bisnis yang dianut oleh para pelaku bisnis.
a.
Pandangan Praktis Realistis
Pandangan ini terutama bertumpu pada
kenyataan (pada umumnya) yang diamati berlaku dalam dunia bisnis dewasa ini.
Pandangan ini berdasarkan pada apa yang umumnya dilakukan dalam dunia bisnis
dewasa ini. Pandangan ini melihat bisnis sebagai suatu kegiatan di antara
manusia yang menyangkut memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk
mendapatkan keuntungan.
Dalam pandangan ini ditegaskan bahwa
secara jelas tujuan utama bisnis adalah mencari keuntungan. Bisnis adalah suatu
kegiatan profit making. Dasar pemikirannya adalah orang yang terjun ke dalam
dunia bisnis tidak punya keinginan dan tujuan lain ingin mendapatkan
keuntungan. Kegiatan bisnis adalah kegiatan ekonomis dan bukan kegaitan sosial.
Sehingga keuntungan tersebut untuk menunjang kegiatan bisnis, tanpa keuntungan
bisnis tidak dapat berjalan.
Pandangan ini dianggap sebagai pandangan
ekonomi klasik (Adam Smith) dan ekonomi neo-klasik (Milton Friedman). Adam
Smith berpendapat bahwa pemilik modal baru dapat keuntungan untuk bisa
merangsang menanamkan modalnya dan itu berarti tidak ada kegiatan ekonomi
produktif sama sekali. Pada akhirnya tidak ada pekerja yang dipekerjakan dan
konsumen tidak akan mendapatkan barang kebutuhannya.
Asumsi
Adam Smith adalah dalam masyarakat modern telah terjadi pembagian kerja
dimana setiap orang tidak bisa lagi mengerjakan segala sesuatunya sekaligus dan
bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Manusia modern harus memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan menukarkan barang produksinya dengan barang produksi
milik orang lain. Dalam perkembangan zaman ada yang berhasil mengumpulkan modal
dan memperbesar usahanya sementara yang lainnya hanya bisa menjadi pekerja
orang lain. Maka terjadi kelas sosial.
Kedua, bahwa semua orang tanpa kecuali
mempunyai kecenderungan dasar untuk membuat kondisi hidupnya menjadi jauh lebih
baik. Dalam keadaan sosial yang telah terbagi menjadi kelas-kelas sosial, jalan
terbaik untuk tetap mempertahankan modalnya dalam kegiatan produktif yang
sangat berguna bagi kegiatan ekonomi nasional dan ekonomi dunia termasuk kelas
pekerja. Hanya dengan membuat pemilik modal menanamkan modalnya, maka banyak
orang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Satu-satunya secara kuantitatif melalui
kegiatan produktif keadaan modalnya serta moral dan sosial baik, antara lain
karena punya dampak yang berguna bagi orang banyak. Karena itu secara moral
tidak salah jika pelaku bisnis itu
mencari keuntungan.
Dalam kaitan dengan ini, tidak
mengherankan bahwa Milton Friedman mengatakan bahwa omong kosong jika bisnis
tidak mencari keuntungan. Ia melihat bahwa dalam kenyataanya hanya
keuntunganlah yang menjadi satu-satunya motivasi atau daya tarik bagi pelaku
bisnis. Menurut Friedman, mencari keuntungan bukan hal yang jelek, karena semua
orang memasuki bisnis selalu dengan punya satu motivasi dasar yaitu mencari
keuntungan. Artinya kalau semua orang masuk dalam dunia bisnis dengan satu
motivasi dasar untuk mencari keuntugan, maka sah dan etis jika saya pun mencari
keuntungan dalam bisnis.
b.
Pandangan Ideal
Pandangan ideal ini dalam kenyataanya
masih merupakan suatu hal yang ideal dalam dunia bisnis. Harus diakui bahwa
sebagian pandangan yang ideal pandangan ini baru dianut oleh sebagian orang
yang dipengaruhi oleh idealisme tertentu nilai tertentu yang dianutnya.
Menurut pandangan ini bisnis tidak lain
adalah suatu kegiatan di antara manusia yang menyangkut produksi, menjual dan
membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pandangan ini tidak menolak bahwa
keuntungan adalah tujuan utama bisnis. Tapi keuntungan bisnis tidak dapat
bertahan. Namun keuntungan hanya dilihat sebagai konsekuensi logis dalam
kegiatan bisnis, yaitu bahwa dengan memenuhi kebutuhan masyarakat secara baik,
keuntungan akan datang dengan sendirinya. Masyarakat akan merasa terkait membeli barang dan jasa yang
ditawarkan oleh perusahaan yang memenuhi kebutuhan mereka dengan mutu dan harga
yang baik itu.
Dasar pemikirannya adalah
pertukaran timbal balik secara fair
diantara pihak-pihak yang terlibat. Maka yang mau di tegakkan dalam bisnis yang
menganut pandangan ini adalah keadilan komutatif, khususnya keadilan tukar atau
pertukaran dagang yang fair. Sesungguhnya pandangan ini pun bersumber dari
ekonomi klasiknya Adam Smith. Menurut Adam Smith, pertukaran dagang terjadi karena
satu orang memproduksi lebih banyak barang tertentu, sementara ia sendiri
membutuhkan barang lain yang tidak dapat memproduksinya sendiri. Jadi
sesungguhnya kegiatan bisnis bisa terjadi karena keinginan untuk saling
memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Hal itu berarti kegiatan bisnis
merupakan perwujudan hakekat sosial manusia saling membutuhkan satu dengan
lainnya. Dengan kata lain keuntungan bukan merupakan tujuan dalam melakukan
kegiatan bisnis. Walaupun menurut Adam Smith pertukaran dagang didasarkan atas
kepentingan pribadi masing-masing yang secara moral baik, pertukaran dagang
atau bisnis merupakan upaya saling memenuhi kebutuhan masing-masing, yang hanya
akan paling mungkin dipenuhi masing-masing orang diperhatikan.
Pandangan ini juga telah dihayati dan dipraktekkan dalam kegiatan bisnis oleh
beberapa orang pengusaha, bahkan menjadi etos bisnis dari perusahaan yang
mereka dirikan. Sebagai contoh : Matsushita, berpendapat tujuan bisnis
sebenarnya bukanlah mencari keuntungan
melainkan melayani kebutuhan masyarakat, Sedangkan keuntungan tidak lain
hanyalah simbol kepercayaan masyarakat atas kegiatan bisnis suatu perusahaan.
Hal itu berarti bahwa karena masyarakat merasa kebutuhan hidupnya dipenuhi,
secara baik mereka akan menyukai produk perusahaan tersebut yang memang
dibutuhkannya, tapi sekaligus juga puas dengan produk tersebut. Sehingga mereka
akan tetap membeli produk tersebut. Dari situ akan mengalir keuntungan. Dengan
demikian yang pertama-tama menjadi fokus perhatian dalam bisnis bukanlah mencari
keuntungan, melainkan apa kebutuhan masyarakat dan bagaimana melayani kebutuhan
masyarakat itu secara baik dan dari sana
akan mendapatkan keuntungan.
Pandangan Matsushita, sebenarnya dalam
arti tertentu tidak sangat idealisitis, karena lahir dari visi bisnis yang
kemudian diperkuat dengan dukungan oleh pengalamannya dalam mengelola
bisnisnya. Ternyata perusahaan dan bisnisnya berhasil bertahan lama, tanpa
perlu harus menggunakan segala cara demi mencapai keuntungan. Demikian pula
pandangan seperti itu diakui dan dibuktikan kebenarannya oleh pengalaman banyak
perusahanan yang juga mengembangkan nilai-nilai budaya perusahaan tertentu atau
etos bisnis bagi perusahaan tersebut.
Dengan melihat kedua pandangan yang
berbeda di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa citra jelek dunia sedikit banyak
disebabkan oleh pandangan pertama sekedar bisnis mencari keuntungan. Tentu
saja, pada dirinya sendiri, sebagaimana telah dikatakan keuntungan tidak jelek.
Hanya saja sikap yang timbul dari kesadaran bahwa bisnis hanya pada satu tujuan
untuk mencari keuntungan sangat berbeda dengan alternative lainnya. Yang
terjadi adalah munculnya sikap dan perilaku yang menjurus pada menghalalkan
segala cara, termasuk cara yang tidak dibenarkan siapapun hanya demi
mendapatkan keuntungan. Akibatnya pelaku bisnis tersebut hidup dalam suatu
dunia yang bahkan ia sendiri sejauh sebagai manusia tidak diinginkannya.
Salah satu upaya untuk membangun bisnis
sebagai profesi yang luhur adalah membentuk, mendukung dan memperkuat
organisasi profesi. Melalui organisasi profesi tersebut bisnis bisa
dikembangkan sebagai sebuah profesi dalam pengertian yang sebenar-benarnya
sebagaimana dibahas, jika bukan menjadi profesi yang luhur tentu saja sangat
sulit untuk membentuk sebuah organisasi profesi yang mencakup semua bidang
bisnis.
Dalam hal ini KADIN dapat diperdayakan
untuk kepentingan tersebut. Yang lebih efektif adalah membentuk organisasi
profesi untuks setiap kelompok atau bidang bisnis : tekstil, konstruksi, bisnis
retail tambang dan sebagainya. Organisasi-organisasi ini tidak hanya menangani
kegiatan bisnis teknis dari kelompoknya melainkan juga menjadi semacam polisi
moral yang akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam mengeluarkan
izin usaha bagi para anggotanya dan tanpa rekomendasi itu izin tersebut tidak
akan diperoleh. Paling tidak organisasi ini memberikan peringkat / ranking
label kualitas yang menentukan sehat tidaknya, etis tidaknya,
perusahaan-perusahaan yang menjadi anggotanya. Peringkat ini sangat diandalkan
masyarakat dan semua pelaku bisnis lainnya sehingga membuat para anggota merasa
membutuhkannya dengan menjadi anggota yang setia dari organisasi profesi
tersebut.
Jika cara ini dijalankan, dengan kontrol
yang ketat dari organisasi profesi, akan bisa terwujud iklim bisnis yang baik.
Tentu saja hal ini pun mengandalkan bahwa organisasi profesi itu sendiri bersih dan baik; tidak
ada nepotisme, tidak ada kolusi tidak ada diskriminasi dalam pemberian
rekomendasi peringkat atau label kualitas. Demikian pula ini pun mengandalkan
pemerintah, melalui departemen terkait, memang bersih dari praktek-praktek yang
dapat merusak citra bisnis yang baik dan etis.
D.
Seberapa Beretikakah?
Pada Etika Khusus dibagi menjadi 3
(tiga) macam, yaitu :
Etika Individual ; yaitu menyangkut
kewajiban dan sikap manusia terhadap diri sendiri. Salah satu prinsip yang
secara khusus relevan dalam etika individual adalah prinsip integritas pribadi,
yang berbicara mengenai perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga dan
mempertahankan nama baiknya sebagai pribadi moral.
Etika Sosial ; yaitu suatu etika yang
berbicara mengenai kewajiban dan hak, pola dan perilaku manusia sebagai makhluk
sosial ber-intraksi dengan sesamanya. Hal ini tentu saja sebagaimana hakikat
manusia yang bersifat ganda, yaitu sebagai makhluk individual dan sosial, etika
individual dan etika sosial berkaitan erat. Bahkan dalam arti tertentu sulit
untuk dilepaskan dan dipisahkan satu dengan lainnya. Karena kewajiban seseorang
terhadap dirinya berkaitan langsung dengan banyak hal yang mempengaruhi pula
kewajibannya terhadap orang lain, dan demikian pula sebaliknya.
Etika Lingkungan Hidup ; yaitu sebuah
etika yang saat ini sering dibicarakan sebagai cabang dari etika khusus. Etika
ini adalah hubungan antara manusia dengan lingkungan alam yang ada di
sekitarnya. Sehingga etika lingkungan ini dapat merupakan cabang dari etika
sosial (sejauh menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia, yang
bersangkutan dengan dampak lingkungan) maupun berdiri sendiri dengan sebagai
etika khusus (sejauh menyangkut hubungan manusia dengan lingkungannya).
Lingkungan hidup dapat dibicarakan juga dalam kerangka bisnis, karena pola
interaksi bisnis sangat mempengaruhi lingkungan hidup.
Dengan demikian, secara umum kita dapat
membuat skema sebagai berikut :
E.
Etika Profesi
Pengertian Profesi dapat dirumuskan
sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan
keahlian dan ketrampilan yang tinggi dan dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam. Dengan
demikian profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan purna waktu
dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan keahlian dan ketrampilan yang
tinggi serta mempunyai komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaan itu.
SUMBER :